Entri Populer

22.12.11

Sebuah Harapan Dari Pinggir Hutan
Ketika anak-anak SAD menyanyikan lagu ‘Bintang kecil’

Dibalik hiruk pikuknya lalu lalang kendaraan bersama riuh rentaknya aktivitas manusia di Kota Muara Tebo, tidak  berapa jauh namun cukup melelahkan dibalik desa Muara Kilis  tinggal sekumpulan manusia yang senantiasa nyaman dengan ketenangan, senantiasa menyatu dengan alam. Mereka adalah merupakan suku anak dalam (SAD). Bagaimana kisah mereka? Apakah yang mereka lakukan? 

PelitaKita, mimpi sekelompok pemuda dewasa yang mengharu biru sehingga menjadi mimpi sikecil dungu yang haus ilmu
Pada suatu waktu akhir pekan yang membosankan, mingkin itulah kata-kata yang terjuluk diujung lidah bagi para penghuni Kota Muara Tebo. wajar saja, selain sepi di kota kecil inipun sulit untuk menemukan tempat yang nayaman untuk berlibur. Namun dibalik kebosanan itu seraya pandangan terlempar kepada beberapa pemuda yang masih terlihat kontras semangat menggebu-gebu saling berbagi cerita dibawah sesumbaran senyum terik matahari.

Kali ini berbeda, ketika biasanya mereka (Sebut saja Oktaviandi dan kawan-kawan,red) tidak lekang dari pembicaraan mengenai seputar  kemajuan Kabupaten Tebo, atau tentang suara-suara keadilan. Justru diakhir pekan ini topik yang diceritakan ialah merupakan suatu perjalanan yang nyaris hilang ditelan deru-deru mesin, dimana ketika anak-anak SAD menyanyikan lagu bintang kecil.

Sambil menyicipi sesuguhan tembakau yang bermerek samporena, Oktaviandi memulai ceritanya. Dimana pada suatu waktu. “sore itu cerah namun tidak seperti halnya dengan beberapa anak yang keluar dari sela-sela semak dipinggir sungai kecil didaerah sungai Innuman Muara Kilis, merka adalah Gabok, upadan, tampung, dan Suni. Mereka duduk dujembatan yang dibuat untuk mrmudahkan para pembalak liar dalam membawa kayu meraka   ke Saki  Mili,” ujarnya perlahan menahan tapi pasti.

Disambungnya cerita fakta itu dengan yakin, rupanya dulu ditempat itu orang tua mreka bergantung hidup dalam memenuhi kebutuhan mencari makan. Yah, mereka dulu tidak mengenal uang, mereka hanya hidup dengan sangat sederhana yang cuma memiliki tombak, parang, dan kain  panjang sebagai harta kekayaan dan alat untuk survival didalam hutan yang merupakan habitad mereka. Dulu meraka gembira, makanan untuk kebutuha mereka selalu terpenuhi walau tidak memiliki rumah karena mereka selalu hidup berpindah-pindah nomaden.

“Kami berusaha mendekati dan bisa komunikasi dengan mereka. Kami berusaha  dengan sedikit kurang percaya diri karena karakter mereka begitu pemalu. Dengan usaha yang kami lakukan akhirnya berhasil mengajak mereka ngobrol, saat itu mereke pulang dari mencari Labi-Labi untuk dijualnya,” ujarnya.

Namun labi-labi yang dicari kini sudah sulit ditemukan, bahkan habitatnya sekarang mulai langka. Saat itu dalam kebisuan teman saya bertanya pada Gabok yang kebetulan paling besar dibandingkan dengan temannya yang lain “dimano ado labi?” dengan pandangan yang layu gabok menjawab “dulu disiko banyak tapi lah abih” walu diskusi kami sangat kaku karna kami memang baru memesuki daerah itu, tempat itu sekitar 25 KM dari Desa Muaro Kilis Kecamatan Tengah Ilir Kabupaten Tebo. Lokasi perumahan yang baru diresmikan oleh Deputi KEMENSOS ini memang diperuntukkan bagi KAT,  lokasinya  berada di tengah perkebunan milik perusahaan yang menanam karet dan sawit, tidak lagi hutan belantara seperti dulu, semuanya sangat jauh berubah. Tidak adalagi pohon-pohon besar, binatang buruan, wilayah kekuasaan kini telah berganti dengan hamparan perkebunan orang yang bermodal besar.

Sambil menghela nafas, Andi mencoba meneruskan ceritanya. “Tenyata berawal dari diskusi tesebut , kami menjadi semakin tertarik untuk dekat dengan mereka, ternyata mereka itu lugu, sederhana, dan begitu polos.  Mereka hanya tau untuk berusaha keras mencari makan demi bertahan hidup. Merek tidak pernah sekolah apalagi belajar seperti anak-anak Desa pada umumnya. Mereka tidak bisa membaca menulis apalagi mengajai. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi mereka tidak mengenal Negara Indonesia. Ironis memang semenjak 66 tahun Indonesia merdeka masih ada permasalahan. Mereka selalu membantu orang tua mereka dan berpisah jika telah dianggap dewasa,” ujarnya melemah.

Dikatakannya lagi, Laju deportasi hutan dan lahan yang tidak mungkin terbendung membuat lahan mereka semakin hilang, tentunya berdampak pada semakin sulitnya mereka mendapat kan kebutuhan hidup sehari-hari, perambahan besar-besaran oleh perusahaan perkebunan, perusahaan Tambang dan kebutuhan masyarakat akan lahan untuk berkebun yang tidak bisa dibendung tersebut memaksa mereka untuk hidup berdampingan dengan masyarakat pada umumnya, namun perubahan yang begitu drastis membuat mereka sulit untuk menyesuaikan diri,  karena mereka kurang bisa beradaptasi dalam kehidupan moderen. Kondisi ini tentu saja semakin memojokkan posisi SAD,  jika tidak ada pihak yang peduli dan serius untuk mencari jalan keluar bagi mereka, maka mereka akan selalu termarjinalkan.

“Memang ada bantuan perumahan sebanyak 50 unit untuk 50 KK, dengan jumlah 503 Jiwa  dari Dinas Sosial untuk perubahan pola hidup mereka yang nomaden, namun tidak memberikan kontribusi yang  berarti bagi mereka sehingga rumah-rumah itu sering ditinggalkan oleh penghuninya untuk mencari kebutuhan keidupan sehari-hari ditambah dengan tidak adanya pendidikan untuk merangsang  dan merubah pola pikir mereka  sebgai solusi agar mereka bisa hidup secara norma seperti masyarakat pada umumnya, tanpa meniggalkan budaya sebagai kekayaan nusantara. Kemudian kami menilai kurangnya perhatian pemerintah untuk SAD sendiri membuat mereka semakin terpojok , bahkan sebagian dari mereka ada yang menjadi pengemis untuk memenuhi kebutuhan hidup,” ujar Andi yang tidak bosan mendatangi para anak SAD itu setiap kalinya.

Diakui mereka, setelah beberapa mempelajari kebiasaan mereka, akhirnya Oktaviandi bersama rekannya memberanikan diri memulai perogram dalam mendampingi mereka, mulai dengan mengumpulkan anak-anak usia sekolah dengan bantuan dari ketua kelompok mereka dan pendamping Dinas Sosial untuk bisa beradaptasi dengan kebudayaan mereka. Dimana pada saat itu tidak terlupakan oleh pemuda Kota kecil ini, dimana terlihat begitu jelas dalam ingatan mereka ketika memberikan Baju Seragam Sekolah dan seperangkat alat tulis. Tidak tertutupi oleh arasa senang, namun begitu jelas raut wajah mereka yang terlihat adalah bingung dengan hal yang baru mereka temui yaitu “Belajar”.

Mereka memang butuh itu, disutu sisi mereka juga butuh orang untuk membeli kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka begitu serius mendengar perkenalan dari kami, dengan tubuh yang dekil mereka sangat serius dalam menyimak kata perkata yang kami ucapkan, walaupun meraka  masih malu–malu tetapi ada terbesit harapan dan cita-cita hinggap ditubuh mereka.

“Lagu Bintang Kecil yang pertama kami ajarkan pada mereka ternyata merupakan sebuah impian yang harus mereka wujudkan, meski sulit. Dan tentunya mereka juga punya impian layaknya anak-anak seusia mereka, mreka juga punya masa depan, masa depan yang entah berpihak pada mereka ataupun tidak berpihak pada mereka. Tapi, saya percaya lahirnya PELITA KITA  merupakan harapan besar bagi mereka dalam sebuah ikhtiar menjadikan hidup mereka lebih baik. Sangat jelas ingatan saya ketika Firdaus mengajak mereka menyanyikan bintang kecil nampak gairah keceriaan diwajah mereka dengan pendidikan sekolah alam yang mereka dapat. Sempat hati kami geli ketika selesai menyanyikan lagu bintang kecil Firdaus bertanya dari salah satu mereka “Suni dimano Bintang” Suni lalu menjawab “di Kiun “ (disana) sambil menunjuk keatas langit, betapa sedihnya kami mendengar jawaban dari Suni yang bagi kami merupakan betapa jauhnya mereka untuk menggapai mimpi. Padahal sangat  jelas sekali termaktub dalam UUD 1945 Pasal 32 yang berbunyi “pakir miskin dan rakyat terlantar dipelihara oleh Negara. Namun jangankan mendapat perhatian Negara bahkan mereka tidak mengenal Indonesia sebagai negara mereka,” ujar Andi sambil menarik nafas.

Sesekali rokok diantara jari telunjuk dan jari tengahnya itu disodorkan ke mulut, seketika itu juga asap tebal mengepul, seiring kata-kata yang menganulir dari lidahnya. “Disini Saya sangat berharap Pelita Kita sebagi wadah untuk mencapai perubahan yang lebih baik dan dapat memberikan sebuah solusi dengan mengajak seluruh Stakeholder dan seluruh pihak yang terkait untuk peduli akan nasib SAD bekerja sama untuk mewujudkan impian Suni dan kawan-kawan setinggi Bintang dilangit, serta membawa mereka menuju kehidupan yang berkeadaban,” ujarnya.

Melihat begitu pedarnya kisah mereka yang terbungkus dibalik kemelut haru birunya semangat manusia modern menggali kekayaaan alam, serta merta derasnya laju mesin mesin yang sempat menyamarkan ngengiang suara-suara para anak SAD tersebut. Namun walau begitu pekatnya cerita dan cepatnya gegaduh hiruk pikuk itu, sesumbar suara mereka tetap terdengar menusuk hati walau nyaris hilang, agak aneh, tapi sungguh sesuatu sekali dan membuat jiwa terharu…-Bintang kecil, di langit yang tinggi, Amat banyak, menghias angkasa, Aku ingin, terbang dan menarijauh tinggi ke tempat kau berada,- selintas suara itupun menhilang dibalik gemerisik pepohonan yang berguguran.

“Saya berharap semua kawan-kawan Pelita Kita tetap semangat, dan tetap teguh untuk berusaha memberikan impian mereka, dan kami juga seluruh Stakholder dan seluruh pihak yang terkait untuk peduli akan nasib SAD. Sehingga mimpi mereka tak lagi hanya sebatas nyanyian lagu bintang kecil yang tak kunjung mereka jumpai, tapi justru menjadi mimpi mimpi yang nyata di hari esok, dimana mereka mendapatkan impiannya dengan nyata dalam menggapai kehidupan yang berkeadaban,”pungkasnya.(*)

Pengikut